NIAS SELATAN- Musim Pilkada – Pemerintah Kabupaten Nias Selatan menjadi sorotan setelah melaksanakan promosi, mutasi, dan demosi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) saat masa Pilkada. Kebijakan ini, menurut Kepala BKD Nias Selatan Anarota Ndruru kepada sejumlah media mengatakan, telah mendapatkan persetujuan dari Kemendagri, BKN, dan rekomendasi KASN. Namun, langkah tersebut menimbulkan kontroversi yang akhirnya mendorong DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki proses tersebut.
Pada 11 Desember 2024, Pansus yang dipimpin Yurisman Laia dari Fraksi Gerindra resmi dibentuk. Dalam rapat paripurna, Wakil Bupati Firman Giawa, SH., MH., menyatakan bahwa pansus ini merupakan langkah strategis untuk memastikan mutasi ASN dilakukan dengan prinsip profesionalisme dan objektivitas, serta berorientasi pada pembangunan daerah.
Namun, pertanyaan besar muncul di tengah masyarakat: Apakah mutasi ini murni untuk kepentingan pemerintahan, atau ada motif politik di baliknya? Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 mengatur larangan penggantian pejabat enam bulan sebelum penetapan calon Pilkada hingga akhir masa jabatan kecuali atas persetujuan Menteri. Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah kepala daerah memanfaatkan posisi strategis ASN demi kepentingan politik tertentu.
Kecurigaan Manipulasi dan Dampak Politik
ASN yang mengalami demosi atau mutasi seringkali merasa tidak netral dan dipaksa mengikuti misi politik kepala daerah. Bila larangan UU ini tidak dipatuhi, kepala daerah berpotensi mengganti pejabat strategis dengan orang-orang loyalis, sementara pejabat yang dianggap menghambat diberhentikan.
Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 menjadi UU No. 10 Tahun 2016 pun memperluas cakupan larangan, tidak hanya bagi petahana yang mencalonkan diri kembali tetapi untuk semua kepala daerah. Meski ada pengecualian, yaitu dengan persetujuan Mendagri, transparansi pelaksanaan aturan ini tetap dipertanyakan.
Transparansi yang Dipertaruhkan
Kasus di Nias Selatan menjadi contoh penting bagaimana kebijakan mutasi ASN dapat memicu kontroversi dan mencederai netralitas ASN. Jika benar dilakukan tanpa persetujuan mendagri, maka pemerintah daerah melanggar aturan, yang berdampak pada akuntabilitas publik.
Pansus DPRD memiliki peran krusial untuk memastikan bahwa kebijakan ini sesuai dengan regulasi dan tidak disusupi kepentingan politik. Namun, hingga kini, hasil penyelidikan Pansus masih dinantikan masyarakat. Akankah keadilan dan profesionalisme ASN ditegakkan, atau ini hanya menjadi bagian dari drama politik Pilkada?
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih valid, tim redaksi datasatu.id mencoba meminta penjelasan dari kepala BKD Nisel Anarota Ndruru, sayangnya Anarota tidak menghiraukan konfirmasi yang dikirim melalui WhatsApp hingga berita ini diterbitkan.(red)
Discussion about this post