Lagi,hasil pilkada kabupaten Nias Selatan yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara pekan lalu berujung ke sengketa Mahkamah konstitusi (MK) oleh salah satu Paslon Kada Nias Selatan .
Menjelang sidang sengketa Pilkada di MK, para penggugat tampak makin galau. Mereka ngotot bahwa ambang batas 2% bukan aturan mutlak untuk memproses gugatan. Dengan alasan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), mereka berharap MK tetap membuka ruang meski gugatan melebihi batas itu.
Menurut info dari “cicak” yang sering nongkrong di dinding MK, beberapa daerah yang berhasil membuktikan pelanggaran TSM bisa mengubah hasil suara secara signifikan. Misalnya dengan membawa pokok perkara seperti Ijazah atau kerjaan terakhir KPU,yakni dana kampanye.
Menggugat itu sah-sah saja, bukan dosa atau haram. Malah, kalau diam saja saat ada kesalahan, itu baru ga keren. Jadi, daripada terus jengkel atau stres, lebih baik salurkan lewat jalur hukum. Siapa tahu, dari gugatan itu, malah jadi lebih tenang. Tapi ingat, jangan pakai jurus licik,nanti jadi bumerang.
Masalahnya, aturan resmi menyebut gugatan hanya diterima jika memenuhi selisih maksimal 2%, seperti yang tertulis di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015.
Sebaliknya, para penggugat menilai aturan ini dapat dikesampingkan, seperti kutipan Juru Bicara MK, Enny Nurbaningsih dalam berita (baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/08/05/15360931/pilkada-2024-mk-tegaskan-bisa-diskualifikasi-calon-terpilih-jika-kpu-keliru.
Red- Akan tetapi, Enny menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dan ambang batas/threshold itu dapat dikesampingkan.
“Ketika di akhir ternyata dilihat tidak jalan yang di awal, harus dikembalikan dari hulu ke hilir supaya sempurna sebagaimana prinsip kita yang menginginkan demokrasi yang luber dan jurdil,” ucap Enny.
Setalah rampung penerimaan permohonan sengketa Pilkada yang berjumlah ratusan, MK akan menggelar sidang pada awal tahun 2025. Dalam setiap permohonan yang lolos dalam registrasi,maka akan keluarlah Putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang biasanya dikeluarkan untuk menentukan langkah awal dalam proses penyelesaian sengketa. Putusan ini umumnya berisi:
1. Penentuan Kelanjutan Sengketa.
MK memutuskan apakah gugatan yang diajukan memenuhi syarat formil, seperti selisih suara yang sesuai ambang batas (maksimal 2%) dan kelengkapan dokumen. Jika tidak memenuhi syarat, gugatan bisa langsung dinyatakan tidak dapat diterima.
2. Perintah untuk Pemeriksaan Lanjutan.
Jika memenuhi syarat, MK akan memerintahkan sidang untuk pemeriksaan lanjutan. Ini meliputi pemeriksaan bukti, saksi, atau argumentasi dari para pihak.
3. Langkah Darurat (Jika Perlu).
Dalam beberapa kasus, MK dapat menginstruksikan langkah darurat, seperti penghentian sementara proses pelantikan kepala daerah, jika ada indikasi kuat pelanggaran yang signifikan.
Putusan sela ini sangat penting karena menentukan apakah sengketa Pilkada akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara atau tidak. Kalau nggak, ya sudah, selesai.Kalau sehat dan berani,kembali jadi Calon KADA di tahun 2029. Heheh,kayak audisi, mana yang layak lanjut, mana yang harus “tereliminasi.”.
Namun, publik tetap berharap MK bisa bekerja jeli. Apakah MK akan terbuai alibi penggugat yang dibantu para ahli hukum? Atau tetap berpegang teguh pada aturan hukum? Ini ujian moral MK,bukan sekedar Mahkamah Kalkulator.
Hakim nanti yang akan menentukan siapa pemenangnya. Kalau prosesnya bersih, semua puas, nggak ada lagi drama atau perang komentar. Kita bisa balik bersaudara, gotong royong bangun daerah.(DS)
Discussion about this post